Hendro Basuki. (dok)
Hendro Basuki. (dok)

Kumbakarna

MENITRIAU.COM

"Indrajit. Bangunkan pamanmu!" 
"Tarik wulu cumbu . Bulu rambut di jempol kaki kirinya. Dia akan terbangun!" pinta Rahwana kepada Indrajit,anaknya yang kebingungan membangunkan pamannya.
Kumbarkarna terbangun.
"Kumba, waktumu perang!" Rahwana mengingatkan adiknya.
Seolah tak mendengar perintah kakaknya, Kumbakarna bergegas tidur lagi.
Kumbakarna!
Keparat!
Murka Rahwana tak juga meluluhkan hatinya.
"Camkan Kumba!"
"Bertahun tahun engkau kuberi makan. Pekerjaanmu hanya tidur... Tidur di sepanjang waktu. Buka matamu! Sekarang atau tidak sama sekali"
" Pamanmu, Prahasta sudah mati di medan laga"
" Oleh sebab bertapamu, kedua anakmu juga rela mati menggantikan bapaknya yang hanya tidur!"
"Kamu memberati tidur, Kumba"
Sumpah serapah Rahwana kepada adiknya.
Percakapan terhenti.
" Duh. Aswani _pejah_ _Dewaji_ !"
" Iya. Kumba-Kumba ya mati. 
 _Kabeh bela pati kanggo aku_ . Ya Alengka. Apakah kamu tetap mau tidur?"

 *Gunawan Wibisana* 

Tercekat Kumbakarna. 
Bergegas kemas.
"Aku berangkat perang sekarang. Bukan membela angkaramurkamu Rahwana. Aku membela negaraku! "
Meluap amarahnya.
Kemarahan itu telah mengakibatkan seluruh makanan semburat keluar dari mulutku.
"Aku berangkat. _Pangestumu Dewaji_ "
"Iya!"
Hanya dengan satu dua ayunan tangan berpuluh, bahkan beratus pasukan Kerajaan Ayodya digulung Kumbakarna. 
Terhenti langkah Kumba. Di hadapannya berdiri kokoh Gunawan Wibisana, adiknya.
" _Duh jagad dewa batara_ . Kenapa aku harus melalui semua ini. Bunuhlah aku Wibisana. Aku rela mati sekarang. Aku hanya membela negaraku. Membela tanah kelahiranku. "
"Aku tidak membela kakakmu, Dasamuka!" tegas Kumbakarna.
"Sekaranglah saatnya Kanda. Ayolah berperanglah melawanku sebagai ksatria," sergah Wibisana.
Tidak!
Tidak, Wibisana!
Jika engkau dan Ramawijaya ingin membunuhku, bunuhlah. Perlakukanlah aku sebagai ksatria di medan perang.
"Aku tidak akan lari,Wibisana." tegas Kumbakarna kepada adiknya.
Gunawan Wibisana ciut nyali. Berlari ia menyampaikan kepada Ramawijaya musuh utama kakaknya. Rahwana.

Dari awal sebenarnya Kumba enggan berangkat perang. Ia telah berbulan, bahkan bertahun bertapa tidur. Setelah bertengkar dengan Rahwana kakaknya, ia memilih menghindari konflik. Dititipkan kedua anak dari perkawinannya dengan Dewi Aswani kepada kelima anak buahnya.
Kumba tahu. Bertengkar dengan kakak tertuanya tak punya nyali. Desakan demi desakan agar Rahwana mengembalikan Sinta ke Ayodya tak membuahkan hasil.
" _Dewaji_ , kembalikanlah Sinta kepada Ramawijaya," pinta Kumba.
"Letakkanlah otakmu pada tempatnya,Kumba."
"Sinta itu aku muliakan. Ia putri Prabu Janaka, Keraton Mantili. Aku buatkan Taman Argaloka."
Itu lebih mulia untuk Sinta.
Tapi, kata Rahwana keras, Ramawijaya tidak becus mengurus. Hanya diajak hidup mengembara di hutan.

 *Lima Mata Panah* 

Ia terhenti. Di hadapannya berdiri Ramawijaya dengan jemparing di tangannya.
Murka Kumba tak tertahankan.
"Keparat Ramawijaya. Engkau hancurkan negaraku!"
Tetapi, Rama lebih sigap menghentikan _kridaning_ Kumba.
Satu demi satu dari lima anak panah Ramawijaya atau Lesmana Widagdo merobek seluruh tubuh Kumba. 
Panah pertama merobek nafsu lauwamah (biologis), kedua merobek nafsu supiah (duniawi), ketiga merobek nafsu amarah (emosional), dan keempat merobek nafsu mutmainah (spiritual). Dan, anak panah kelima menyempurnakan jiwa Kumba setelah kematian fisiknya.
Kumba anak kedua dari Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi menjalani kehidupan dengan hampir seluruhnya penuh tragisme. Lahir dengan bentuk raksasa dengan hati manusia. 
Kakaknya hidup dalam kerakusan, adiknya melakukan pengkhianatan atas nama membela kebenarannya sendiri. 
Wibisana memilih membela Ramawijaya. Menjual seluruh kelemahan yang ada pada diri saudaranya yang lain. 
Membela Rahwana,  mengingkari nurani. Tetapi berlaku seperti adiknya, juga tak sampai hati. Ternyata penghindarannya dengan tidur juga tak menyelesaikan gelisah hatinya.
Prahasto, patih Alengka yang juga pamannya telah tewas dalam peperangan. Dua anaknya, Aswani Kumba dan Kumba-Kumba mengalami nahas yang sama. Keduanya merelakan diri maju perang. Menggantikan bapaknya 

 *Perang Nonfisik* 

Perang antara Ayodya dengan Alengka sesungguhnya merupakan gambaran dari peperangan non fisik. Ia lebih merupakan perang antara e
Nafsu-nafsu manusia, lauwamah (biologis), sufiah (duniawi), amarah, dan mutmainah. 
Keempat sifat melekat, dan hanya manusia yang berkesadaran mampu mengendalikan keempatnya. 
Mereka yang tidak bisa menguasai dengan kesadaran maka ia akan hidup dengan kesengsaran.
Ramawijaya sekalipun telah dikuasai nafsu cintanya sehingga kehilangan sifat mutmainahnya dengan perasaan cemburu dan ketidakpercayaan. Ia membiarkan Sinta membuktikan sumpahnya.
"Jika tubuhku kotor karena Dasamuka, maka bumi tak akan menerimaku. Sebaliknya, jika tubuhku bersih, maka bumi akan menerimaku!"
Sesaat kemudian, bumi membelah. Menganga. Menelan seluruh tubuh Sinta. Dan, tak pernah kembali.
Kumbakarna dengan kelebihan dan kelemahan sebagai manusia dihormati sebagai prajurit sejati. Seperti ditulis dalam Serat Tripama, KGPAA Mangkunagara IV menuliskan,
 _Wonten malih tuladan prayogi_ ,
 _Satriya gung nagari Ngalengka Sang Kumbakarna namane_ ,
 _Tur iku warna diyu_ ,
 _Suprandene nggayuh utami_ ,
 _Duk awit prang Ngalengka_ ,
 _Dennya darbe atur_ ,
 _Mring raka amrih raharja_ ,
 _Dasamuka tan keguh ing atur yekti_ ,
 _De mung mungsuh wanara_.

(Ada lagi teladan baik,
Satria agung negeri Ngalengka,
Sang Kumbakarna namanya,
Padahal (ia) bersifat raksasa,
meskipun demikian (ia) berusaha meraih keutamaan,
sejak perang Ngalengka (melawan Sri Ramawijaya),
ia mengajukan pendapat,
kepada kakandanya agar selamat,
tetapi Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapat baik, Karena hanya melawan barisan kera)

 _Kumbakarna kinen mangsah jurit,_ 
 _Mring kang rak sira tan lenggana_ ,
 _Nglungguhi kasatriyane_ ,
 _Ing tekad datan purun_ 
 _Amung cipta labuh nagari_ ,
 _Lan nolih yayahrena_ ,
 _Myang luluhuripun_ ,
 _Wus mukti aneng Ngalengka_ ,
 _Mangke arsa rinusak ing bala kali,_ 
 _Punagi mati ngrana_ .
( Kumbakaran diperintah maju perang,
Oleh kakandanya ia tidak menolak
Menepati (hakikat) kesatriaannya,
(sebenarnya) dalam tekadnya (ia) tak mau,
(kecuali) melulu membela negara,
Dan mengangkat harkat orang tua,
Telah hidup nikmat di negeri Ngalengka,
(yang) sekarang akan dirusak oleh barisan kera,
(Kumbakarna) bersumpah mati dalam perang. ***

*) Hendro Basuki, penulis wartawan senior tinggal di Semarang, Jawa Tengah



Bagikan :
Bagikan tulisan ( berita/opini ) anda ke TIM Redaksi kami
Email : redaksi@menitriau.com
(Sertakan Foto dan Data Diri Anda)